MAYAT

Manusia semakin tamak dan serakah. Korupsi, kolusi, dan nepotisme seakan-akan sudah menjadi budaya dan mendarah daging dalam setiap insan pengejar kekuasaan, ketenaran, dan tentunya kekayaan. Bahkan manusia berharap agar aku tidak ada supaya tidak ada hal yang bisa mengganjal mereka dalam meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dengan jalan yang sudah pasti tidak halal. Hitam.
Ketika uang sudah berbicara, ku tahu bahwa sebentar lagi napasku berhenti. Aku dibunuh demi kepentingan pihak-pihak tertentu. Padahal aku ada supaya Negari ini dipenuhi keadilan. Ini tidak adil. Aku bangkit memberontak. Aku melakukan protes atas semua yang telah terjadi yang beralaskan keserakahan manusia.

MAHASISWA

Mahasiswa telah mati
Terbukur dalam kenikmatan dunia
......
 Yang ada mahasiswa penjilat berwajah pengecut!






Mahasiswa egois! Mahasiswa memikirkan diri sendiri! Era sudah berubah. Era Soe Hoek Gie telah mati diinjak-injak oleh mahasiswa masa kini. Semangat perjuangan Gie telah mati di tangan mahasiswa yang kini lebih memilih berhadapan dengan blackberry, iPhone, iPad. Sungguh ironis. Sejenak, ketika kita menelusuri tiga fungsi mahasiswa sebagai agent of change, social control, dan moral force, tentunya kita berharap bahwa mahasiswa bisa mewujudkan tiga fungsi suci itu. Akan tetapi, hanya segelintir mahasiswa yang mau dan berusaha mewujudkan tiga fungsi ini. Kemanakah mahasiswa lainnya? Tidakkah merekah peduli akan fungsi yang melekat pada identitas mereka? Ataukah mereka sudah lupa ketika dunia menawarkan sesuatu yang lebih menarik ketimbang berusaha menghidupi tiga fungsi mahasiswa?

Mimpi Kaum Terasing

Mungkin mereka telah bosan, mungkin mereka telah tak peduli
Segenggam harapan untuk hidup masih ada padaku
Sebutir semangat menjadi cemeti untuk langkahku
Bertaruh dalam kehidupan yang terasing
 
Mungkin aku menjijikkan, mungkin aku begitu kotor
Terlihat jelas dari kaca mobilmu
Tergambar jelas dari raut wajahmu
Mencoba mengalihkan pandangan dari dunia yang terasing

RUMAH BARU


Suatu hari aku berada di sebuah lingkungan yang baru.  Aku tak tahu sama sekali tentang lingkungan yang baru ini. Syukurlah aku telah mengenal beberapa orang sehingga bisa memberiku sedikit informasi tentang lingkungan ini.
Lingkungan ini ternyata adalah sebuah jenjang terakhir untuk meraih gelar sarjana. Dan aku begitu senangnya bisa masuk ke dalam lingkungan ini. Aku begitu kaget, ternyata di lingkungan ini terdapat sebuah rumah. Ya, rumah inilah yang menjadi tempat kebersamaan keluarga teruntai dengan manisnya. Aku ingin masuk ke rumah ini. Aku ingin merasakan kebersamaan dalam rumah ini. Aku ingin mengenal anggota keluarga dalam rumah ini. Dan aku ingin belajar dari rumah ini untuk kemudian membangun rumah ini.

DI SINI LEBIH BAIK

Sungguh luar bisa kehidupan yang diberikan oleh Sang Pencipta. Begitu banyak warna-warni kehidupan yang datang silih berganti dalam kehidupan ini. Ada keberhasilan dan kegagalan. Ada kesedihan dan kebahagiaan. Ada kelahiran dan kematian. Semuanya menjadi mozaik tersendiri dalam kehaidupan masing-masing. Tapi, mengapa selalu muncul kekhawatiran untuk menjalani hidup? Mengapa manusia selalu khawatir akan kehidupannya? Takut gagal, sedih, dan mati. Lepas dari semua itu, aku tak perlu khawatir malam ini karena aku merasa bahagia berada dalam kehangatan bersama teman sepermainan masa kecil. Kami saling menceritakan masa depan yang hendak kami jelang. Tak ada kekhawatiran di sana. Yang ada hanya tawa dan gurauan belaka.
Adith, itulah namaku. Aku adalah seorang perantau. Inilah kali pertama aku pergi ke kota. Malam ini, aku seakan masih merasakan hawa kota yang sudah kutinggalkan kemarin malam untuk pulang kampung. Ternyata kehidupan di perkotaan dan pedesaan sangat berbeda jauh. Di kota, jalan raya sangat ramai. Begitu banyak kendaraan sehingga jalanan menjadi macet. Salah satu penyebab kemacetan itu sendiri adalah tidak patuhnya pengendara akan rambu-rambu lalulintas. Hal inilah yang menyebabkan aku seringkali terlambat mengikuti kuliah. Di kota, pohon-pohon sudah jarang