DI SINI LEBIH BAIK

Sungguh luar bisa kehidupan yang diberikan oleh Sang Pencipta. Begitu banyak warna-warni kehidupan yang datang silih berganti dalam kehidupan ini. Ada keberhasilan dan kegagalan. Ada kesedihan dan kebahagiaan. Ada kelahiran dan kematian. Semuanya menjadi mozaik tersendiri dalam kehaidupan masing-masing. Tapi, mengapa selalu muncul kekhawatiran untuk menjalani hidup? Mengapa manusia selalu khawatir akan kehidupannya? Takut gagal, sedih, dan mati. Lepas dari semua itu, aku tak perlu khawatir malam ini karena aku merasa bahagia berada dalam kehangatan bersama teman sepermainan masa kecil. Kami saling menceritakan masa depan yang hendak kami jelang. Tak ada kekhawatiran di sana. Yang ada hanya tawa dan gurauan belaka.
Adith, itulah namaku. Aku adalah seorang perantau. Inilah kali pertama aku pergi ke kota. Malam ini, aku seakan masih merasakan hawa kota yang sudah kutinggalkan kemarin malam untuk pulang kampung. Ternyata kehidupan di perkotaan dan pedesaan sangat berbeda jauh. Di kota, jalan raya sangat ramai. Begitu banyak kendaraan sehingga jalanan menjadi macet. Salah satu penyebab kemacetan itu sendiri adalah tidak patuhnya pengendara akan rambu-rambu lalulintas. Hal inilah yang menyebabkan aku seringkali terlambat mengikuti kuliah. Di kota, pohon-pohon sudah jarang sehingga ketika berjalan di jalan raya terasa sangat panas dan tidak ada tempat untuk berteduh sejenak. Betapa bedanya dengan kehidupan di kampungku. Di kampungku tidak ada kemacetan dan terasa sangat sejuk. Di kota, hidup modern sudah menjadi style. Kemoderenan ini membawa masyarakat perkotaan untuk meninggalkan kesabaran dalam menjalani hidup. Masyarakatnya hidup dalam kemudahan serba instan yang seakan-akan mengharuskan setiap orang untuk segera meraih hasrat dan ambisinya yang pada akhirnya berujung pada satu titik, kesenangan jasmani dan ragawi. Sementara di kampung, dalam balutan suasana tradisional, semua elemen hidup untuk saling melengkapi. Hidup untuk berbagi dan untuk kebersamaan, itulah semangat yang selalu menjiwai para penduduk di kampung. Aku berharap, semangat itu tak pernah padam oleh hembusan angin era modern yang dipenuhi oleh teknologi yang canggih.
Home sweet home. Ya, menurutku itu benar. Sebaik-baiknya daerah lain yang terbaik adalah daerah sendiri. Malam yang dingin. Aku duduk bersama dua teman sepermainan masa kecilku di sebuah pendopo kecil di kampung ini. Tak ada lampu-lampu jalan yang terang benderang seperti yang ada di kota. Hanya bintang-bintang yang menerangi jalan di kampungku ini. Kami saling berbagi cerita tentang hidup yang telah kami jalani masing-masing bahkan bergurau sampai cerita menjadi tak bermakna.  Siapa peduli?
Aku masih mengingat, pendopo kecil ini adalah saksi bisu akan janji kami bahwa suatu saat kami harus berkumpul di tempat ini lagi untuk saling berbagi cerita. Malam ini janji itu terpenuhi meskipun tanpa satu sahabat kami Arya yang sudah meninggal akibat pergaulan bebas di kota. Dia terkena HIV AIDS.
Kami bertiga mengenang masa kecil dengan menceritakan semua hal, dari kesedihan sampai kebahagiaan. Tak ada yang ditutup-tutupi. Terdengar suara gemericik air dari sungai yang ada di belakang pendopo ini. Aku masih ingat, di sungai inilah kami sering berenang sambil memandikan kerbau kami. Tak jarang kami berusaha mencari ikan untuk kami bakar sambil mengeringkan diri. Sungguh masa kecil yang sangat menyenangkan. Dan hidup terus berjalan, kami pun beranjak untuk menggapai tujuan hidup kami masing-masing dengan memilih jalan hidup sendiri. Dan setiap insan pun akan dibawa pada persoalan untuk memilih jalan hidup dalam mewujudkan harapan dan cita-citanya.
Kami hidup di desa bagaikan memiliki dunia sendiri dan bukan dunia yang memiliki kami. Kami hidup di desa mengendalikan sendiri waktu kami dan bukan waktu yang mengendalikan diri kami sendiri. Kami bahkan pernah menyalahkan dunia yang pernah menjerumuskan Arya tanpa pernah mau tahu apa kata orang tentang dunia kami. Kami berpendapat, siapa yang peduli?
Hujan pun turun. Dalam kedinginan malam ini, terdengar tiga anak melantunkan lagu. Hati kami dipenuhi dengan nyanyian hati. Lantunan nada mengalun dari mulut kami masing-masing diiringi petikan gitar. Ada yang bersuara emas (baca: indah) dan ada yang bersuara perunggu (baca: fals). Tetapi siapa yang peduli? Toh, kami tidak merasa sedang ada di panggung untuk menghibur fans kami.
Lebih baik di sini…
Rumah kita sendiri…
Segala nikmat dan anugerah yang Kuasa…
Semuanya ada di sini…
Semuanya ada di sini, di kampung ini. Kami semua berharap, kelak kami akan berkumpul di tempat ini lagi. Apa yang terjadi di kampung ini adalah bagian kehidupan kami sendiri. Baik atau buruknya, siapa yang peduli? Kami semua berharap dan berharap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar