RUMAH BARU


Suatu hari aku berada di sebuah lingkungan yang baru.  Aku tak tahu sama sekali tentang lingkungan yang baru ini. Syukurlah aku telah mengenal beberapa orang sehingga bisa memberiku sedikit informasi tentang lingkungan ini.
Lingkungan ini ternyata adalah sebuah jenjang terakhir untuk meraih gelar sarjana. Dan aku begitu senangnya bisa masuk ke dalam lingkungan ini. Aku begitu kaget, ternyata di lingkungan ini terdapat sebuah rumah. Ya, rumah inilah yang menjadi tempat kebersamaan keluarga teruntai dengan manisnya. Aku ingin masuk ke rumah ini. Aku ingin merasakan kebersamaan dalam rumah ini. Aku ingin mengenal anggota keluarga dalam rumah ini. Dan aku ingin belajar dari rumah ini untuk kemudian membangun rumah ini.
Ketika berkumpul bersama teman-teman yang juga baru masuk ke lingkungan ini, seseorang dari anggota rumah ini mengatakan, “Rumah ini adalah rumah suci bagi orang-orang yang mau berproses untuk melahirkan insan yang tercerahkan. Rumah ini tidak ada pintunya. Artinya setiap orang bisa masuk dan keluar tetapi menjadi yang menjadi keharusan adalah melaksanakan aturan main dalam rumah ini.” Aku bertanya dalam hati, “Bagaimana mungkin rumah tidak memiliki pintu? Bisa saja pencuri masuk dan mengambil barang-barang yang ada di dalamnya.” Entahlah, aku masih pusing dan masih tak ingin mencari tahu apa maksud sebenarnya dari perkataan anggota rumah. Aku yakin, menjalani proses untuk menjadi bagian dari rumah akan memberikan jawaban atas pertanyaanku.
Berjalan bersama waktu dan mencoba memaknai setiap hal yang terjadi. Demikianlah yang aku lakukan dalam setiap proses penggemblengan yang harus aku lalui untuk mencapai status sebagai keluarga. Tujuan awalku mengikuti proses ini hanyalah untuk mendapatkan status sebagai keluarga karena di dalam lingkungan baru ini, anggota dalam rumah ini bisa membantuku mengenal banyak lingkungan baru yang aku masuki. Akan tetapi, proses demi proses yang telah aku lalui semakin mengikis tujuan materialistikku. Aku kemudian sadar bahwa harusnya aku berproses untuk belajar dan kemudian membagikan apa yang telah aku dapatkan.
Aku harus terseok melewati semua onak penggemblengan untuk mendalami petuah-petuah dari anggota keluarga sehingga aku bisa mendapatkan bekal untuk memasuki rumah baru. Ilmu yang diberikan ternyata tak didapatkan di bangku kuliah. Dan ilmu yang aku dapatkan tak ada gunanya jika aku tak mengaplikasikannya dalam kehidupanku. Proses begitu panjang tetapi aku sadar bahwa  semua the founding fathers telah merasakan pahit geritnya proses untuk mencapai sebuah kesusksesan. Soekarno, Hatta, dan Sudirman telah memberikan teladan yang baik yang kemudian dijiwai oleh Soe Hoek Gie untuk menghidupkan perjuangan kaum-kaum pembela kebenaran. Ya, semangat itulah yang hendak diberikan kepada calon keluarga karena dalam semangat itulah rumah ini bisa kokoh dan bertahan sampai sekarang.
Ketika aku merangkai bait-bait perjuangan untuk berhasil menjadi keluarga, aku tersentak melihat bahwa menjadi bagian dari keluarga adalah tanggung jawab yang besar. Pilihan ini menuntut ketotalitasan untuk terus berproses. Aku tak yakin bahwa aku bisa loyal untuk tolal dalam berproses di rumah baru. Tetapi tak ada kata berhenti untuk mencoba.
Kehidupan terus berlalu dan aku begitu bangga karena dalam suatu acara aku telah menjadi salah satu orang yang dikukuhkan untuk menjadi anggota di dalam rumah baru di lingkungan baru. Dan kehidupan baru sebagai anggota keluarga dimulai. Waktu terus bergulir dan waktu jualah yang akan membutikan sampai di mana aku bisa berjuang untuk rumah ini. Dalam hembusan napasku aku memaknainya sebagai suatu proses seperti yang selalu diagung-agungkan dalam proses memanusiakan manusia yang telah aku lalui.
Bagiku menjadi anggota dari rumah ini adalah sebuah perantauan. Darah rantau mengalir dalam diriku. “Bila tiba di sebuah tepi laut, perahu harus dihancurkan agar tidak selalu ingat untuk pulang kampung,” demikianlah kata pepatah orang Bugis-Makassar. Ya, perahu yang telah membawaku ke rumah ini harus segera aku hancurkan agar aku tidak kembali ke “kampung” lamaku karena aku sadar bahwa hakikat dari pepatah itu ialah seseorang harus bisa berhasil dan sukses agar bisa membangun perahu yang bisa memberi perubahan bagi kehidupan. Dan semoga proses di rumah ini menjadikan aku insan tercerahkan untuk berani tegak membela kesesuaian antara ide dan realitas.
Life must go on. Hidup harus berjalan terus. Dan semoga dalam perjalanan ini aku bisa memberi sesuatu kepada rumah baruku ini walaupun apa yang ku berikan adalah sesuatu yang bernilai kecil.
Aku melangkahkan kaki masuk ke rumah baruku. Dan aku mendapatkan “bapak keluarga” dari rumah ini sedang duduk dan menerawang jauh. Aku tak tahu apa yang dia pikirkan. Dia memanggilku dan mengajakku bercerita. Di akhir pembicaraan kami, dia menitip pesan : “Jangan bangunkan aku bila aku telah tertidur. Biarlah “anak” dan “cucuku” yang terbangun untuk melanjutkan perjuanganku membangun rumah ini. Aku telah memberikan sesuatu yang bagiku adalah sejarah dan sejarah itu ditentukan oleh hari ini. Sejauh itu akan diteruskan dan diperjuangkan oleh anak cucuku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar