MAYAT

Manusia semakin tamak dan serakah. Korupsi, kolusi, dan nepotisme seakan-akan sudah menjadi budaya dan mendarah daging dalam setiap insan pengejar kekuasaan, ketenaran, dan tentunya kekayaan. Bahkan manusia berharap agar aku tidak ada supaya tidak ada hal yang bisa mengganjal mereka dalam meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dengan jalan yang sudah pasti tidak halal. Hitam.
Ketika uang sudah berbicara, ku tahu bahwa sebentar lagi napasku berhenti. Aku dibunuh demi kepentingan pihak-pihak tertentu. Padahal aku ada supaya Negari ini dipenuhi keadilan. Ini tidak adil. Aku bangkit memberontak. Aku melakukan protes atas semua yang telah terjadi yang beralaskan keserakahan manusia.
Aku yang
menjadi korban. Namaku diperjualbelikan oleh kaum-kaum pengejar kekayaan. Aku telah mati. Namaku hanya menjadi tanda semata. Aku dimanipulasi dan dijadikan sebagai obyek pertaruhan kekuatan. Aku sudah mati di atas keserakahan dan menjadi neraka bagi kaum proletar. Kini, aku menjadi mayat. Hanya nama yang abadi.
Mayat. Ia begitu sedih meratapinasib yang dia alami. Merosotnya peradaban membuatnya mati. Tak ada lagi perjuangan. Tak ada lagi kebenaran. Ia tidak bisa membela kebenaran lagi karena siapa yang punya uang dialah yang benar. Ia menjadi mayat. Ia tidak dapat lagi menggugat kebusukan-kebusukan yang tersembunyi. Ia menjadi mayat. Ia bangkit dan berbicara.
“Hei, kaum-kaum borjuis! Kamu begitu serakah dan kamu telah dibutakan oleh keserakahanmu sendiri. Aku yang mati dan kamu yang menikmati. Kamu melejit meraup keuntungan dan aku yang dijepit hingga mati. Kamu tak tahu malu. Bahkan karena aku sudah mati, kamu semakin berjaya bermain-main dengan bebasnya. Aku tidak terima. Ini benar-benar kemunduran. Ini benar-benar kematian hati nurani. Ini benar-benar kebobrokan.”
Mayat. Ia tak puas. Ia masih punya semangat. Ia berbicara.
“Hei, kaum-kaum pejabat! Butakah engkau dengankeadaan ini? Bisukah engkau untuk membela diriku? Kau tak peduli. Bahkan ketika aku mati, kau hanya menangis! Air mata buaya! Air matamu hanya kepura-puraan belaka. Tak ada rasa empatimu. Bukankah seharusnya engkau yang memperhatikan aku? Bukankah seharusnya engkau yang meninggikan aku? Di manakah engkau, wahai pejabat? Dulu, aku berharapbahwa hadirmu adalah kehidupan baru bagiku. Kehidupan yang membawa aku menjadi penegak dan pembela kebenaran. Tetapi apa yang aku dapat? Engkau malah diam! Busuk!”
Mayat. Ia marah. Ia mengerang. Ia menguras seluruh apa yang kini ia rasakan. Ia kembali berbicara.
“Hei, kaum borjuis dan pejabat! Sudah puaskah engkau? Semua busuk! Haruskah lidah ini mengucap sumpah-sumpah serapah untukmu? Tidak, aku tak perlu melakukan itu. Tak akan ada makna dan manfaatnya. Sekarang kalian pasti tertawa ngakak. Sekarang kalian pasti bahagia. Busuk. Kalian tertawa dan bahagia di atas kematianku. Mentang-mentang, aku dibunuh oleh karena uangmu, kini engkau merajalela berburu harta di bumi pertiwi. Tidak!!! Aku tidak ikhlas. Aku tidak menyelesaikan pertandinganku hingga garis finish karena engkau berbuat curang. Hah! Kalian sudah kehilangan hati dan otak.”
Mayat. Ia tak sanggup lagi berkata-kata! Apalagi yang bisa ia sampaikan? Ia sudah mati. Pasti tidak akan ada yang mendengar dan memperhatikannya lagi.
“Tunggu dulu…”
Mayat. Ia ternyata masih ingin berbicara.
“Aku telah menyelesaikan pertandinganku. Kegagalanku adalah bukti bahwa di dalam pertandinganku ada invisible hand yang punya kekuatan besar. Biar nanti di akhirat aku bertemu dengan orang-orang yang telah membunuh dan memanfaatkanku. Aku yakin, di sana aku akan menang…”
Mayat. Ia berbalik. Prakkkk!!! Ia menabrak sesuatu. Benda itu jatuh tepat di hadapannya. Ia menangis. Air matanya berderai-derai. Ia berlutut. Ia mengambil benda suci itu. Dipeluknya erat seakan tak ingin meninggalkannya. Ia berdiri dan memasang kembali benda itu.
Mayat. Ia memandang benda yang sudah tergantung kembali. Aneh, ia malah sempat-sempatnya mengheningkan cipta. Ia berbalik dan melangkah. Jauh…jauh… Ya, sudah jauh ia membelakangi gambar Burung Garuda yang tergantung itu.
Prakkk!! Gambar itu terjatuh kembali. Tak ada yang peduli. Gambar itu malah diinjak-injak. Tak berarti lagi? Hanya nama yang abadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar